Minggu, 06 Januari 2013

REVIEW JURNAL 5.3 Ekonomi Koperasi


Perbaikan Mutu Lada dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing di Pasar Dunia  dengan Koperasi

oleh :
NANAN NURDJANNAH
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian




MASALAH DAN PERBAIKAN PENGOLAHAN LADA

Menurut Putro (2001), masalah utama yang sering dikeluhkan oleh importir rempah Eropa terhadap produk lada Indonesia yaitu tingginya kadar kotoran dan kontaminasi mikroorganisme. Hasil analisis produk lada putih petani Indonesia umumnya mengandung kadar lada hitam 3 – 13%, sedangkan syarat mutu IPC 1 – 2% (Abdullah dan Nurdjanah, 2005). Diketahui pula bahwa kandungan total mikroorganisme (total plate count) dari produk lada tersebut 12 x 108 sampai 70 x 108, jauh lebih tinggi dari pada syarat mutu IPC (5 x 104). 
Harga lada Indonesia lebih rendah dari Malaysia, contohnya ”Lampung black pepper” dan ”Muntok white pepper”`di New York pada bulan Februari/Maret 2004 berturut-turut US$ 1,545/ton dan US$ 2,405/ton. Harga tersebut lebih rendah dari pada lada dari Malaysia yang dikenal dengan ”Serawak black” dan ”Sarawak white” dengan harga berturut-turut US$ 1,700 sampai 1,720/ton dan US$ 2,515 -2,535/ton (International Pepper Community, 2004b).

 Masalah pada Pengolahan Lada Hitam
Pada dasarnya pengolahan lada hitam dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap perontokan (pemisahan buah lada dari tangkainya) dan tahap pengeringan. Pemisahan buah lada dari tangkai masih dilakukan secara manual yaitu dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki. Untuk pengeringan sebagian petani masih melakukan-nya di atas tikar yang diletakkan dipinggir jalan atau di halaman rumah. Namun demikian sebagian petani sudah melakukan penjemuran di atas lantai yang terbuat dari semen. Setelah kering proses sortasi dilakukan dengan pengayakan atau penampian. Sebagian petani sudah melakukan sortasi dengan menggunakan alat sortasi walaupun sangat sederhana.

Cara-cara tersebut di atas memungkinkan terjadinya kontaminasi pada lada hitam yang dihasilkan, berupa debu, tanah, batu-batu kecil, rambut dan kotoran hewan peliharaan. Selain itu cara-cara di atas dapat menyebabkan terjadinya pencemaran oleh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Tidak dilakukannya sortasi lada kering atau sortasi yang dilakukan dengan cara sederhana menyebabkan produk masih banyak mengandung bahan-bahan asing seperti tangkai, lada enteng (lada yang tidak bernas), dan lain-lain. Faktor lain yang menentukan mutu ladaadalah tingkat kematangan buah lada. Petani sering melakukan pemetikan buah lada tidak pada waktu yang tepat.

Selain faktor di atas, cara pengolahan kurang efisien, menyebabkan banyak lada yang tercecer, terkupas, kadar kotoran tinggi, lada hitam berwarna kecoklatan, ukuran yang kurang seragam dan aroma yang kurang tajam.

Di tingkat eksportir, lada yang dihasilkan oleh petani biasanya diolah kembali untuk mendapatkan lada hitam mutu FAQ atau ASTA. Proses tersebut terdiri dari pengayakan dan hembusan untuk memisahkan lada hitam bernas dari lada enteng dan menir serta debu, kemudian dilanjutkan dengan pencucian dan pengeringan kembali. Proses tersebut dilakukan dengan mesin. Untuk memperbaiki mutu lada hitam yang sudah terkontaminasi oleh mikroba di Lampung telah ada unit sterilisasi dengan menggunakan uap. Proses stetrilisasi hanya dilakukan atas permintaan importir.

Upaya Perbaikan Mutu Lada Hitam
Untuk memperbaiki cara pengolahan lada hitam di tingkat petani, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah mengembangkan cara pengolahan secara masinal dengan merancang bangun alat perontok lada, pengering dan blansir (Hidayat, 1996). Perbaikan cara pengolahan tersebut bertujuan supaya proses pengolahan lebih efisien, serta mutu dan kebersihan menjadi lebih baik. Dengan alat-alat tersebut alur proses pengolahan lada hitam menjadi seperti pada Gambar 1.

Beberapa keunggulan pengolahan lada hitam dengan metoda Balittro antara lain : (1) lada yang hilang karena tercecer selama pengolahan (tahap perontokan, pengeringan dan sortasi) dan lada yang terkupas selama proses perontokan relatif sedikit (masing-masing < 1%); (2) kadar kotoran (tangkai dan debu), lada menir dan lada enteng relatif sedikit (< 2%); (3) lada hitam lebih bersih karena selama proses blansir terjadi pencucian kotoran pada permukaan butiran lada serta tempat pengeringan lebih bersih dan terlindung; (4) penerapan  proses  blansir  menghasilkan lada 

Pemanen (Lada dan Tangkai)
|
Perontokan (mesin perontok)
|
Blansir (alat blansir)
|
Pengeringan (mesin pengering)
|
Pemisahan kotoran (mesin sortasi)
|
Lada hitam siap pakai


Gambar 1. Diagram alir pengolahan lada hitam secara mekanis

hitam yang berwarna hitam mengkilat, seragam dan beraroma tajam; dan (5) proses pengolahan lebih singkat 3 – 4 hari karena proses  blanching mempersingkat waktu pengeringan. Proses pengeringan akan lebih singkat lagi bila memakai alat pengering, satu kali pengeringan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam. Mutu lada hitam hasil pengolahan dengan metoda Balittro dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Mutu lada hitam hasil pengolahan tradisional dan metoda Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)

Karakteristik                                       Tradisional                                         Metoda Balittro
Warna                                                Hitam kecoklatan                            hitam mengkilat,
          kurang seragam,                              seragam
Aroma                                                Kurang tajam, berbau                    tajam, spesifik lada
          pemeraman
Kadar air (%)                                      11,48                                                     11,60
Kadar minyak (%)                                2,78                                                        2,73
Sumber : Risfaheri dan Hidayat (1993).

Perbaikan mutu lada dapat pula dilakukan dengan memperbaiki cara pengolahan yang biasa dilakukan oleh petani, yaitu : 
-  Memetik buah lada secara bertahap, dipilih yang sudah cukup matang (hijau tua tapi belum berwarna kuning)
- Menghindarkan penjemuran di pinggir jalan
- Penjemuran di halaman rumah sebaiknya tidak langsung di atas tanah tapi memakai rak-rak sehingga tidak terjangkau oleh binatang peliharaan
- Pengemasan buah yang segar maupun yang kering menggunakan karung yang bersih
- Pemeraman dapat diganti dengan pencelupan buah lada pada air panas (belum mendidih) selama kurang lebih 2,5 menit dengan menggunakan alat yang sudah tersedia seperti panci dan sebagainya
- Sebelum dijual supaya dilakukan sortasi debu dan kotoran lain yang ringan dengan cara meniupkan angin memakai kipas angin
- Lada hitam yang kering dan sudah dikemas disimpan diruangan yang bersih dan kering (tidak lembab) dengan ventilasi yang cukup

Perlakuan-perlakuan pendahuluan sepe blansir dan pencucian serta proses yang bersih dapat menurunkan kadar kontaminasi oleh mikroorganisme. Total mikroba aerob pada produk lada di Afrika, yang diolah secara tradisional dapat mencapai 6,65 x 1010 pada lada putih dan 7,04 x 1010 pada lada hitam Dengan perlakuan pendahuluan seperti pencucian dan blansir jumlah mikroba aerob pada lada dapat diturunkan sampai kurang dari 1,0 x 1010, yang diikuti dengan hilangnya ragi, coliforms dan jenis-jenis bakteri yang lain. Demikian pula halnya proses pengeringan dapat menurunkan jumlah mikroba  (Omafuvbe dan Kolawole, 2004).

Masalah dalam Pengolahan Lada Putih

 Indonesia adalah negara penghasil dan pengekspor terbesar dari lada putih yang diikuti oleh Malaysia dan Brazil. Pada tahun 2002 Indonesia mengekpor lada putih sebanyak 12.250 ton, Malaysia sebanyak 843 ton dan Brazil sebanyak 776 ton. Pada tahun 2003 ekspor Indonesia menurun menjadi 10.752 ton, sedangkan ekspor Malaysia naik menjadi 967 ton dan ekspor Brazil menurun menjadi 715 ton (International Pepper Community, 2004c).

             Proses pengolahan lada putih dilakukan di tingkat petani, prosesnya meliputi perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, pengeringan, sortasi dan pengemasan. Untuk memproduksi lada putih pemetikan buah dilakukan 8 – 9 bulan setelah bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan. Setelah dipetik buah lada berikut tandannya dimasukkan ke dalam karung goni atau plastik siap untuk direndam. Perendaman biasa dilakukan di sungai-sungai kecil yang mengalir atau di Bangka biasa dilakukan di dalam kolong (cekungan yang terbentuk akibat penggalian timah) yang memakan waktu 8 sampai 12 hari. Lamanya perendaman lada tergantung dari kemasakan buah dan keadaan lingkungan seperti, banyaknya air dan lain-lain. Semakin matang buah lada semakin pendek waktu perendaman. Pada perendaman buah lada tersebut terjadi pembusukan kulit luar oleh bakteri sehingga kulit tersebut mudah dipisahkan dari bijinya. Perendaman yang lama menyebabkan timbulnya bau busuk yang biasanya masih terbawa pada lada putih kering, terutama bila perendaman tersebut dilakukan dalam air yang tidak mengalir.

Setelah perendaman dilakukan pengupasan kulit dan pencucian. Hal ini dilakukan pada tempat yang sama di mana lada tersebut direndam. Pengupasan dilakukan dengan cara meremas-remas atau menginjak-injak buah lada yang kulitnya sudah lunak tersebut. Setelah terkelupas kulit luarnya kemudian dicuci dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menghamparkan lada yang sudah terkupas dan bersih di atas tikar atau karung goni atau plastik dan dijemur selama 3 sampai 5 hari sampai kering. Pengeringan tersebut dilakukan di halaman rumah atau di pinggir jalan. Setelah kering dilakukan sortasi dengan cara menampi lada yang sudah kering tersebut sehingga bagian yang ringannya terpisah. Sortasi hanya dilakukan oleh sebagian petani saja. Kemudian lada putih dikemas dengan karung goni atau plastik dan disimpan siap untuk dijual (Nurdjannah, 1999b).

Cara pengolahan seperti di atas sering kali menghasilkan mutu lada putih yang kurang baik bahkan sering terjadi kontaminasi baik dari kotoran hewan atau mikroba yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah perendaman dilakukan di tempat yang tidak higienis dengan menggunakan air yang tidak bersih, bahkan sebagian dilakukan di sungai-sungai kecil yang juga digunakan untuk keperluan sehari-hari. Selain itu proses pengeringan yang dilakukan di pinggir jalan atau halaman rumah memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh debu dan kotoran hewan. Pada waktu hujan, kurangnya sinar matahari menyebabkan tertundanya proses pengeringan yang akan menyebabkan berjamurnya lada putyang dihasilkan (Nurdjannah, 1999b).

Rendahnya mutu lada yang dihasilkan dapat juga disebabkan oleh waktu pemetikan buah yang tidak tepat waktu. Kadang-kadang petani terlalu dini dalam memanen buahnya sehingga buah lada belum cukup masak, yang mengakibatkan banyaknya lada putih kering yang hampa (Nurdjannah, 1999b).

 Upaya Perbaikan Mutu Lada Putih

Beberapa upaya telah dilakukan untuk memperbaiki mutu lada putih, baik dengan memperbaiki cara-cara tradisional maupun dengan membuat peralatan yang lebih baik. Beberapa kolam perendaman lada dari beton telah dibuat di Bangka dan Kalimantan Barat dengan dasar diberi tulang beton untuk menyangga karung lada supaya tidak kena lumpur. Air yang digunakan dibuat sedemikian rupa sehingga mengalir. Dengan cara demikian terjadi penggantian air yang terus menerus di mana air yang berbau busuk dan kotorannya dapat dikeluarkan. Hasilnya adalah lada putih yang berwarna cerah, tidak berbau busuk dan mengurangi kontaminasi bakteri dan lain-lain.

“Agribusiness Development Project” (ADB) yang dibantu oleh USAID, bekerjasama dengan “Yayasan Dian Desa” (YDD) telah membuat tempat perendaman, pencucian dan pengeringan lada putih dalam skala besar di Desa Air Gegas, Bangka, dengan menggunakan cara perendaman biasa tetapi dengan memperbaiki faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu lada. Tangki perendaman besar telah dibuat sebanyak empat buah yang berbentuk bulat dan tiap tangki dapat memuat 8 sampai 10 ton buah lada. Setiap tangki dilengkapi dengan 3 tangki pencuci. Air diambil dari cekungan besar bekas galian timah dan berisi air yang dinamakan kolong dengan memakai pompa air. Untuk menggerakan pompa dipakai generator atau listrik dari PLN. Untuk mengalirkan air dari kolong ke tempat perendaman digunakan pipa polietilen yang tebal. Air didalam tangki perendaman diganti setiap 3 atau 4 hari. Dengan tersedianya air dalam jumlah yang banyak dan bersih tersebut akan diperoleh lada putih dengan mutu yang baik sepanjang buah lada yang digunakan juga baik mutunya (Nurdjannah dan Dhalimi, 1998).

Di samping cara-cara di atas, untuk meningkatkan mutu lada putih, BALITTRO telah merancang bangun alat pengolah lada putih yang terdiri dari alat perontok, pengupas, pengering dan sortasi lada (Nurdjannah  et al., 2000). Alat perontok dapat digerakkan dengan tenaga listrik maupun tenaga manusia. Alat ini sama dengan yang digunakan untuk lada hitam yang fungsinya adalah untuk memisahkan buah lada dari tangkainya dengan kapasitas 170 sampai 185 kg/jam menggunakan tenaga manusia dan sampai 250 kg/jam dengan menggunakan tenaga listrik (Risfaheri et al., 1992).

Alat pengupas lada fungsinya untuk memisahkan kulit buah lada dari bijinya, alat dapat digerakkan dengan tenaga listrik atau tenaga manusia yang masing-masing mempunyai kapasitas 55 sampai 60 kg/jam dan 23 sampai 25 kg/jam. Alat ini dapat mengupas lada dengan baik, namun kapasitasnya masih rendah. Untuk menaikkan kapasitasnya dilakukan perendaman pada lada yang akan dikupas selama 3 – 4 hari (Nurdjannah dan Hidayat, 2006). Perendaman lada sebelum pengupasan disarankan tidak lebih dari 4 hari karena pada hari keempat mulai timbul bau yang tidak dikehendaki (Steinhaus dan Schieberle, 2005a ; 2005b). Selain itu warna lada yang dihasilkan secara mekanis kurang menarik, yaitu putih kecoklatan yang terjadi karena proses browning (pencoklatan), sedangkan yang dikehendaki pasar adalah yang ditambahkan zat antioksidan seperti asam sitrat, malat dan tartrat dengan konsentrasi sekitar 2%. Asam sitrat lebih baik karena disamping lebih mudah didapat, juga harganya paling murah (Rp. 15.000,-/kg) (Iyengar dan McEvily, 1992 ; Nurdjannah, 2005).

Alat pengering yang telah dirancang bangun adalah dari tipe “pengering rak” dan “pengering bak” sama dengan pengering untuk lada hitam dengan kapasitas masing-masing 200 dan 500 kg. Energi yang digunakan berasal dari sinar matahari atau minyak tanah untuk “pengering rak” dan listrik atau minyak tanah untuk “pengering bak”. Faktor penting yang harus diperhatikan pada pengeringan lada putih adalah harus dilakukan dalam beberapa tahap (interval waktu) dan dengan suhu tidak melebihi 70ºC. 

Alat sortasi adalah alat untuk memisahkan lada enteng, menir dan debu dari lada putih yang dihasilkan dari alat-alat di atas. Cara kerja alat berdasarkan perbedaan berat dari masing-masing fraksi di atas.
Pengolahan lada putih dengan menggunakan rangkaian alat-alat di atas dapat menurunkan tingkat kontaminasi mikroorganisme yang berbahaya untuk kesehatan serta kotoran lainnya seperti kotoran manusia, hewan dan lain-lain dengan waktu pengolahan yang lebih singkat (1 – 2 hari untuk lada hitam, 4 – 5 hari untuk lada putih dengan perendaman dan 1 – 2 hari untuk lada putih tanpa perendaman). Selain itu petani dapat menjual disamping produk utama (lada putih) juga produk sampingnya (lada enteng, menir dan debu) sebagai sumber minyak lada yang dapat diekspor. Disamping menurunnya derajat kontaminasi, lada putih yang diproses dengan alat-alat tersebut mempunyai aroma khas lada, bebas dari bau busuk dan mengandung minyak atsiri yang tinggi. Karakteristik lada yang dihasilkan dengan cara mesin tanpa perlakuan perendaman maupun antioksidan dan dengan cara tradisional dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik lada putih yang dihasilkan dengan mesin dan cara tradisional

Karakteristik                             Cara tradisional                 Dengan mesin
Warna                                      Putih kekuningan             Putih agak gelap
Aroma                                      Spesifik lada,                  spesifik lada, lebih
kurang kuat                     kuat aromanya,
aromanya, bau                 bebas dari bau
busuk masih                     busuk
terbawa
Kadar air (% v/b)                            11,9                                       11,7      
Kadar minyak atsiri                          2,5                                          3,2
(% v/b)
Sumber : Hidayat dan Risfaheri (1994)

Perbaikan cara pengolahan lada putih secara masinal di atas telah dicoba diterapkan dalam skala lebih besar di Desa Batauah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kertanegara, hasilnya lebih baik dibandingkan dengan lada putih hasil pengolahan petani setempat. Lada putih yang dihasilkan disamping mempunyai warna yang lebih baik juga kandungan total mikroorganisme atau  Total Plate Count (TPC)  jauh lebih rendah dari pada yang dihasilkan petani. Disamping itu, pada produk tersebut tidak terdeteksi adanya Salmonella maupun E. coli. Warna lada putih yang dihasilkan oleh sebagian besar petani antara putih kecoklatan dan abu-abu, sedangkan lada putih yang dihasilkan dengan cara masinal umumnya berwarna putih kekuningan. Nilai TPC dari lada putih yang dihasilkan petani berkisar antara 12 – 70 x 108 / g, sedangkan yang dihasilkan dengan cara masinal antara 1,4 – 4,8 x 108 / g (Nurdjannah dan Hidayat, 2006). Walaupun telah terjadi penurunan TPC, nilai tersebut masih di atas nilai yang dikehendaki oleh konsumen Jepang (< 103/g). Hal ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan air yang berasal dari sumber yang kurang bersih. Karena itu untuk dapat menurunkan nilai TPC tersebut perlu dibuat sumber air yang dapat dijamin kebersihannya.

Untuk perbaikan mutu lada putih telah pula dilakukan percobaan pengupasan dengan menggunakan mikroba pendegradasi. Telah dilakukan analisis dan isolasi mikroba pendegradasi yang terdapat dalam air perendaman lada. Hasilnya menunjukkan dari sampel air dan kulit buah lada yang sedang membusuk diperoleh beberapa jenis bakteri dan jamur. Sejumlah 30 isolat bakteri dan 5 isolat jamur telah diisolasi. Beberapa isolat tersebut ada yang menunjukkan kemampuan untuk mendegradasi senyawa selulosa (Supriadi  et al.,1999). Percobaan pengupasan dengan bakteri Trichoderma viridae telah pula dicoba dilakukan. Perlakuan optimal dengan presentase lada terkupas 95,00% dihasilkan pada penggunaan mikroba  T. viridae dengan media penambahan nutrien dan inkubasi selama 8 hari. Nutrien yang dipakai urea 1%, Fe SO4 1%, MgSO4.H2O 0,5% (Suhirman  et al., 1999). Namun demikian percobaan ini belum diterapkan untuk jumlah yang lebih besar dan belum diteliti segi ekonomis dan keamanannya.



NAMA : RACHMA ANNASTARI
NPM   : 25211695

Tidak ada komentar:

Posting Komentar