Perbaikan Mutu Lada dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing di Pasar Dunia dengan Koperasi
oleh :
NANAN NURDJANNAH
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian
MASALAH DAN PERBAIKAN PENGOLAHAN LADA
MASALAH DAN PERBAIKAN PENGOLAHAN LADA
Menurut Putro
(2001), masalah utama yang sering dikeluhkan oleh importir rempah Eropa terhadap
produk lada Indonesia yaitu tingginya kadar kotoran dan kontaminasi
mikroorganisme. Hasil analisis produk lada putih petani Indonesia umumnya
mengandung kadar lada hitam 3 – 13%, sedangkan syarat mutu IPC 1 – 2% (Abdullah
dan Nurdjanah, 2005). Diketahui pula bahwa kandungan total mikroorganisme
(total plate count) dari produk lada tersebut 12 x 108 sampai 70 x 108, jauh
lebih tinggi dari pada syarat mutu IPC (5 x 104).
Harga lada Indonesia
lebih rendah dari Malaysia, contohnya ”Lampung black pepper” dan ”Muntok white
pepper”`di New York pada bulan Februari/Maret 2004 berturut-turut US$ 1,545/ton
dan US$ 2,405/ton. Harga tersebut lebih rendah dari pada lada dari Malaysia
yang dikenal dengan ”Serawak black” dan ”Sarawak white” dengan harga
berturut-turut US$ 1,700 sampai 1,720/ton dan US$ 2,515 -2,535/ton (International
Pepper Community, 2004b).
Masalah pada Pengolahan Lada
Hitam
Pada dasarnya
pengolahan lada hitam dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap perontokan (pemisahan
buah lada dari tangkainya) dan tahap pengeringan. Pemisahan buah lada dari
tangkai masih dilakukan secara manual yaitu dengan tangan atau diinjak-injak
dengan kaki. Untuk pengeringan sebagian petani masih melakukan-nya di atas
tikar yang diletakkan dipinggir jalan atau di halaman rumah. Namun demikian sebagian
petani sudah melakukan penjemuran di atas lantai yang terbuat dari semen.
Setelah kering proses sortasi dilakukan dengan pengayakan atau penampian.
Sebagian petani sudah melakukan sortasi dengan menggunakan alat sortasi
walaupun sangat sederhana.
Cara-cara
tersebut di atas memungkinkan terjadinya kontaminasi pada lada hitam yang dihasilkan,
berupa debu, tanah, batu-batu kecil, rambut dan kotoran hewan peliharaan.
Selain itu cara-cara di atas dapat menyebabkan terjadinya pencemaran oleh
mikroorganisme yang tidak diinginkan. Tidak dilakukannya sortasi lada kering
atau sortasi yang dilakukan dengan cara sederhana menyebabkan produk masih
banyak mengandung bahan-bahan asing seperti tangkai, lada enteng (lada yang
tidak bernas), dan lain-lain. Faktor lain yang menentukan mutu ladaadalah
tingkat kematangan buah lada. Petani sering melakukan pemetikan buah lada tidak
pada waktu yang tepat.
Selain faktor
di atas, cara pengolahan kurang efisien, menyebabkan banyak lada yang tercecer,
terkupas, kadar kotoran tinggi, lada hitam berwarna kecoklatan, ukuran yang
kurang seragam dan aroma yang kurang tajam.
Di tingkat
eksportir, lada yang dihasilkan oleh petani biasanya diolah kembali untuk mendapatkan
lada hitam mutu FAQ atau ASTA. Proses tersebut terdiri dari pengayakan dan hembusan
untuk memisahkan lada hitam bernas dari lada enteng dan menir serta debu,
kemudian dilanjutkan dengan pencucian dan pengeringan kembali. Proses tersebut
dilakukan dengan mesin. Untuk memperbaiki mutu lada hitam yang sudah terkontaminasi
oleh mikroba di Lampung telah ada unit sterilisasi dengan menggunakan uap. Proses
stetrilisasi hanya dilakukan atas permintaan importir.
Upaya Perbaikan Mutu Lada Hitam
Untuk
memperbaiki cara pengolahan lada hitam di tingkat petani, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah mengembangkan cara pengolahan secara
masinal dengan merancang bangun alat perontok lada, pengering dan blansir
(Hidayat, 1996). Perbaikan cara pengolahan tersebut bertujuan supaya proses
pengolahan lebih efisien, serta mutu dan kebersihan menjadi lebih baik. Dengan
alat-alat tersebut alur proses pengolahan lada hitam menjadi seperti pada
Gambar 1.
Beberapa
keunggulan pengolahan lada hitam dengan metoda Balittro antara lain : (1) lada
yang hilang karena tercecer selama pengolahan (tahap perontokan, pengeringan
dan sortasi) dan lada yang terkupas selama proses perontokan relatif sedikit
(masing-masing < 1%); (2) kadar kotoran (tangkai dan debu), lada menir dan
lada enteng relatif sedikit (< 2%); (3) lada hitam lebih bersih karena
selama proses blansir terjadi pencucian kotoran pada permukaan butiran lada
serta tempat pengeringan lebih bersih dan terlindung; (4) penerapan proses
blansir menghasilkan lada
Pemanen (Lada dan
Tangkai)
|
Perontokan (mesin
perontok)
|
Blansir (alat
blansir)
|
Pengeringan (mesin
pengering)
|
Pemisahan kotoran
(mesin sortasi)
|
Lada hitam siap pakai
Gambar 1.
Diagram alir pengolahan lada hitam secara mekanis
hitam yang berwarna hitam
mengkilat, seragam dan beraroma tajam; dan (5) proses pengolahan lebih singkat
3 – 4 hari karena proses blanching mempersingkat
waktu pengeringan. Proses pengeringan akan lebih singkat lagi bila memakai alat
pengering, satu kali pengeringan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam.
Mutu lada hitam hasil pengolahan dengan metoda Balittro dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Mutu lada hitam hasil pengolahan tradisional dan
metoda Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
Karakteristik
Tradisional Metoda Balittro
Warna Hitam kecoklatan hitam mengkilat,
kurang
seragam, seragam
Aroma Kurang
tajam, berbau tajam, spesifik lada
pemeraman
Kadar air (%) 11,48
11,60
Kadar minyak (%) 2,78 2,73
Sumber : Risfaheri dan Hidayat (1993).
Perbaikan mutu
lada dapat pula dilakukan dengan memperbaiki cara pengolahan yang biasa dilakukan
oleh petani, yaitu :
-
Memetik buah lada secara bertahap, dipilih yang sudah cukup matang
(hijau tua tapi belum berwarna kuning)
- Menghindarkan penjemuran di
pinggir jalan
- Penjemuran di halaman rumah
sebaiknya tidak langsung di atas tanah tapi memakai rak-rak sehingga tidak
terjangkau oleh binatang peliharaan
- Pengemasan buah yang segar
maupun yang kering menggunakan karung yang bersih
- Pemeraman dapat diganti dengan pencelupan
buah lada pada air panas (belum mendidih) selama kurang lebih 2,5 menit dengan
menggunakan alat yang sudah tersedia seperti panci dan sebagainya
- Sebelum dijual supaya dilakukan
sortasi debu dan kotoran lain yang ringan dengan cara meniupkan angin memakai
kipas angin
- Lada hitam yang kering dan
sudah dikemas disimpan diruangan yang bersih dan kering (tidak lembab) dengan
ventilasi yang cukup
Perlakuan-perlakuan
pendahuluan sepe blansir dan pencucian serta proses yang bersih dapat
menurunkan kadar kontaminasi oleh mikroorganisme. Total mikroba aerob pada produk
lada di Afrika, yang diolah secara tradisional dapat mencapai 6,65 x 1010 pada
lada putih dan 7,04 x 1010 pada lada hitam Dengan perlakuan pendahuluan seperti
pencucian dan blansir jumlah mikroba aerob pada lada dapat diturunkan sampai
kurang dari 1,0 x 1010, yang diikuti dengan hilangnya ragi, coliforms dan jenis-jenis
bakteri yang lain. Demikian pula halnya proses pengeringan dapat menurunkan jumlah
mikroba (Omafuvbe dan Kolawole, 2004).
Masalah
dalam Pengolahan Lada Putih
Indonesia adalah negara penghasil dan pengekspor
terbesar dari lada putih yang diikuti oleh Malaysia dan Brazil. Pada tahun 2002
Indonesia mengekpor lada putih sebanyak 12.250 ton, Malaysia sebanyak 843 ton
dan Brazil sebanyak 776 ton. Pada tahun 2003 ekspor Indonesia menurun menjadi
10.752 ton, sedangkan ekspor Malaysia naik menjadi 967 ton dan ekspor Brazil
menurun menjadi 715 ton (International Pepper Community, 2004c).
Proses
pengolahan lada putih dilakukan di tingkat petani, prosesnya meliputi
perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, pengeringan, sortasi dan pengemasan.
Untuk memproduksi lada putih pemetikan buah dilakukan 8 – 9 bulan setelah bunga
muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning
kemerahan. Setelah dipetik buah lada berikut tandannya dimasukkan ke dalam
karung goni atau plastik siap untuk direndam. Perendaman biasa dilakukan di
sungai-sungai kecil yang mengalir atau di Bangka biasa dilakukan di dalam
kolong (cekungan yang terbentuk akibat penggalian timah) yang memakan waktu 8
sampai 12 hari. Lamanya perendaman lada tergantung dari kemasakan buah dan
keadaan lingkungan seperti, banyaknya air dan lain-lain. Semakin matang buah
lada semakin pendek waktu perendaman. Pada perendaman buah lada tersebut
terjadi pembusukan kulit luar oleh bakteri sehingga kulit tersebut mudah
dipisahkan dari bijinya. Perendaman yang lama menyebabkan timbulnya bau busuk
yang biasanya masih terbawa pada lada putih kering, terutama bila perendaman tersebut
dilakukan dalam air yang tidak mengalir.
Setelah
perendaman dilakukan pengupasan kulit dan pencucian. Hal ini dilakukan pada tempat
yang sama di mana lada tersebut direndam. Pengupasan dilakukan dengan cara meremas-remas
atau menginjak-injak buah lada yang kulitnya sudah lunak tersebut. Setelah terkelupas
kulit luarnya kemudian dicuci dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menghamparkan
lada yang sudah terkupas dan bersih di atas tikar atau karung goni atau plastik
dan dijemur selama 3 sampai 5 hari sampai kering. Pengeringan tersebut
dilakukan di halaman rumah atau di pinggir jalan. Setelah kering dilakukan
sortasi dengan cara menampi lada yang sudah kering tersebut sehingga bagian yang
ringannya terpisah. Sortasi hanya dilakukan oleh sebagian petani saja. Kemudian
lada putih dikemas dengan karung goni atau plastik dan disimpan siap untuk
dijual (Nurdjannah, 1999b).
Cara
pengolahan seperti di atas sering kali menghasilkan mutu lada putih yang kurang
baik bahkan sering terjadi kontaminasi baik dari kotoran hewan atau mikroba
yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah
perendaman dilakukan di tempat yang tidak higienis dengan menggunakan air yang
tidak bersih, bahkan sebagian dilakukan di sungai-sungai kecil yang juga
digunakan untuk keperluan sehari-hari. Selain itu proses pengeringan yang
dilakukan di pinggir jalan atau halaman rumah memungkinkan terjadinya kontaminasi
oleh debu dan kotoran hewan. Pada waktu hujan, kurangnya sinar matahari menyebabkan
tertundanya proses pengeringan yang akan menyebabkan berjamurnya lada putyang
dihasilkan (Nurdjannah, 1999b).
Rendahnya mutu
lada yang dihasilkan dapat juga disebabkan oleh waktu pemetikan buah yang tidak
tepat waktu. Kadang-kadang petani terlalu dini dalam memanen buahnya sehingga buah
lada belum cukup masak, yang mengakibatkan banyaknya lada putih kering yang
hampa (Nurdjannah, 1999b).
Upaya Perbaikan Mutu Lada Putih
Beberapa upaya
telah dilakukan untuk memperbaiki mutu lada putih, baik dengan memperbaiki
cara-cara tradisional maupun dengan membuat peralatan yang lebih baik. Beberapa
kolam perendaman lada dari beton telah dibuat di Bangka dan Kalimantan Barat dengan
dasar diberi tulang beton untuk menyangga karung lada supaya tidak kena lumpur.
Air yang digunakan dibuat sedemikian rupa sehingga mengalir. Dengan cara
demikian terjadi penggantian air yang terus menerus di mana air yang berbau
busuk dan kotorannya dapat dikeluarkan. Hasilnya adalah lada putih yang
berwarna cerah, tidak berbau busuk dan mengurangi kontaminasi bakteri dan
lain-lain.
“Agribusiness
Development Project” (ADB) yang dibantu oleh USAID, bekerjasama dengan “Yayasan
Dian Desa” (YDD) telah membuat tempat perendaman, pencucian dan pengeringan lada
putih dalam skala besar di Desa Air Gegas, Bangka, dengan menggunakan cara
perendaman biasa tetapi dengan memperbaiki faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya mutu lada. Tangki perendaman besar telah dibuat sebanyak empat buah
yang berbentuk bulat dan tiap tangki dapat memuat 8 sampai 10 ton buah lada.
Setiap tangki dilengkapi dengan 3 tangki pencuci. Air diambil dari cekungan
besar bekas galian timah dan berisi air yang dinamakan kolong dengan memakai
pompa air. Untuk menggerakan pompa dipakai generator atau listrik dari PLN.
Untuk mengalirkan air dari kolong ke tempat perendaman digunakan pipa
polietilen yang tebal. Air didalam tangki perendaman diganti setiap 3 atau 4
hari. Dengan tersedianya air dalam jumlah yang banyak dan bersih tersebut akan
diperoleh lada putih dengan mutu yang baik sepanjang buah lada yang digunakan
juga baik mutunya (Nurdjannah dan Dhalimi, 1998).
Di samping
cara-cara di atas, untuk meningkatkan mutu lada putih, BALITTRO telah merancang
bangun alat pengolah lada putih yang terdiri dari alat perontok, pengupas,
pengering dan sortasi lada (Nurdjannah
et al., 2000). Alat perontok dapat digerakkan dengan tenaga listrik maupun
tenaga manusia. Alat ini sama dengan yang digunakan untuk lada hitam yang fungsinya
adalah untuk memisahkan buah lada dari tangkainya dengan kapasitas 170 sampai
185 kg/jam menggunakan tenaga manusia dan sampai 250 kg/jam dengan menggunakan
tenaga listrik (Risfaheri et al., 1992).
Alat pengupas
lada fungsinya untuk memisahkan kulit buah lada dari bijinya, alat dapat
digerakkan dengan tenaga listrik atau tenaga manusia yang masing-masing
mempunyai kapasitas 55 sampai 60 kg/jam dan 23 sampai 25 kg/jam. Alat ini dapat
mengupas lada dengan baik, namun kapasitasnya masih rendah. Untuk menaikkan
kapasitasnya dilakukan perendaman pada lada yang akan dikupas selama 3 – 4 hari
(Nurdjannah dan Hidayat, 2006). Perendaman lada sebelum pengupasan disarankan
tidak lebih dari 4 hari karena pada hari keempat mulai timbul bau yang tidak
dikehendaki (Steinhaus dan Schieberle, 2005a ; 2005b). Selain itu warna lada
yang dihasilkan secara mekanis kurang menarik, yaitu putih kecoklatan yang
terjadi karena proses browning (pencoklatan), sedangkan yang dikehendaki pasar
adalah yang ditambahkan zat antioksidan seperti asam sitrat, malat dan tartrat
dengan konsentrasi sekitar 2%. Asam sitrat lebih baik karena disamping lebih mudah
didapat, juga harganya paling murah (Rp. 15.000,-/kg) (Iyengar dan McEvily,
1992 ; Nurdjannah, 2005).
Alat pengering
yang telah dirancang bangun adalah dari tipe “pengering rak” dan “pengering bak”
sama dengan pengering untuk lada hitam dengan kapasitas masing-masing 200 dan
500 kg. Energi yang digunakan berasal dari sinar matahari atau minyak tanah
untuk “pengering rak” dan listrik atau minyak tanah untuk “pengering bak”.
Faktor penting yang harus diperhatikan pada pengeringan lada putih adalah harus
dilakukan dalam beberapa tahap (interval waktu) dan dengan suhu tidak melebihi
70ºC.
Alat sortasi
adalah alat untuk memisahkan lada enteng, menir dan debu dari lada putih yang dihasilkan
dari alat-alat di atas. Cara kerja alat berdasarkan perbedaan berat dari
masing-masing fraksi di atas.
Pengolahan
lada putih dengan menggunakan rangkaian alat-alat di atas dapat menurunkan tingkat
kontaminasi mikroorganisme yang berbahaya untuk kesehatan serta kotoran lainnya
seperti kotoran manusia, hewan dan lain-lain dengan waktu pengolahan yang lebih
singkat (1 – 2 hari untuk lada hitam, 4 – 5 hari untuk lada putih dengan
perendaman dan 1 – 2 hari untuk lada putih tanpa perendaman). Selain itu petani
dapat menjual disamping produk utama (lada putih) juga produk sampingnya (lada
enteng, menir dan debu) sebagai sumber minyak lada yang dapat diekspor.
Disamping menurunnya derajat kontaminasi, lada putih yang diproses dengan alat-alat
tersebut mempunyai aroma khas lada, bebas dari bau busuk dan mengandung minyak
atsiri yang tinggi. Karakteristik lada yang dihasilkan dengan cara mesin tanpa
perlakuan perendaman maupun antioksidan dan dengan cara tradisional dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik lada putih yang dihasilkan dengan
mesin dan cara tradisional
Karakteristik
Cara tradisional Dengan mesin
Warna Putih kekuningan Putih agak gelap
Aroma Spesifik lada, spesifik lada, lebih
kurang kuat kuat aromanya,
aromanya, bau
bebas dari bau
busuk masih busuk
terbawa
Kadar air (% v/b) 11,9
11,7
Kadar minyak atsiri 2,5 3,2
(% v/b)
Sumber : Hidayat dan Risfaheri (1994)
Perbaikan cara
pengolahan lada putih secara masinal di atas telah dicoba diterapkan dalam skala
lebih besar di Desa Batauah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kertanegara, hasilnya
lebih baik dibandingkan dengan lada putih hasil pengolahan petani setempat.
Lada putih yang dihasilkan disamping mempunyai warna yang lebih baik juga kandungan
total mikroorganisme atau Total Plate
Count (TPC) jauh lebih rendah dari pada
yang dihasilkan petani. Disamping itu, pada produk tersebut tidak terdeteksi
adanya Salmonella maupun E. coli. Warna lada putih yang dihasilkan oleh
sebagian besar petani antara putih kecoklatan dan abu-abu, sedangkan lada putih
yang dihasilkan dengan cara masinal umumnya berwarna putih kekuningan. Nilai
TPC dari lada putih yang dihasilkan petani berkisar antara 12 – 70 x 108 / g, sedangkan
yang dihasilkan dengan cara masinal antara 1,4 – 4,8 x 108 / g (Nurdjannah dan Hidayat,
2006). Walaupun telah terjadi penurunan TPC, nilai tersebut masih di atas nilai
yang dikehendaki oleh konsumen Jepang (< 103/g). Hal ini kemungkinan disebabkan
karena penggunaan air yang berasal dari sumber yang kurang bersih. Karena itu
untuk dapat menurunkan nilai TPC tersebut perlu dibuat sumber air yang dapat
dijamin kebersihannya.
Untuk
perbaikan mutu lada putih telah pula dilakukan percobaan pengupasan dengan menggunakan
mikroba pendegradasi. Telah dilakukan analisis dan isolasi mikroba pendegradasi
yang terdapat dalam air perendaman lada. Hasilnya menunjukkan dari sampel air
dan kulit buah lada yang sedang membusuk diperoleh beberapa jenis bakteri dan jamur.
Sejumlah 30 isolat bakteri dan 5 isolat jamur telah diisolasi. Beberapa isolat
tersebut ada yang menunjukkan kemampuan untuk mendegradasi senyawa selulosa
(Supriadi et al.,1999). Percobaan
pengupasan dengan bakteri Trichoderma viridae telah pula dicoba dilakukan. Perlakuan
optimal dengan presentase lada terkupas 95,00% dihasilkan pada penggunaan mikroba T. viridae dengan media penambahan nutrien
dan inkubasi selama 8 hari. Nutrien yang dipakai urea 1%, Fe SO4 1%, MgSO4.H2O
0,5% (Suhirman et al., 1999). Namun
demikian percobaan ini belum diterapkan untuk jumlah yang lebih besar dan belum
diteliti segi ekonomis dan keamanannya.
NAMA : RACHMA ANNASTARI
NPM : 25211695
Tidak ada komentar:
Posting Komentar