Audit Forensik
I. Pengertian Audit
Forensik
Audit Forensik terdiri dari dua kata,
yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian
antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa
diperdebatkan di muka hukum / pengadilan. Dengan demikian, audit forensik bisa
didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di
lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif
yang bisa digunakan di muka pengadilan. Karena sifat dasar dari audit forensik
yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama
dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak
kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support) di
pengadilan. Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif
artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan
risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit
akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit
tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam
hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
II. Proses Audit Forensik
1. Identifikasi
masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan
pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna
untuk mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa
dilakukan secara tepat sasaran.
2. Pembicaraan
dengan klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan
pembahasan bersama klien terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi,
jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman
antara auditor dan klien terhadap penugasan audit.
3. Pemeriksaan
pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan
pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa
dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and
how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H (who,
what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan
menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak.
4. Pengembangan
rencana pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun
dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit,
serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan
dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan
bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan
lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan
pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit
sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna
mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
6. Penyusunan
Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan
penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3
poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
· Kondisi,
yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
· Kriteria,
yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu,
jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai
temuan.
· Simpulan,
yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup
sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
III. Peran Penting Audit
Forensik
Dalam beberapa artikel dan literatur,
pembahasan Audit forensik lebih mengarah kepada kasus pembuktian penyimpangan
keuangan atau korupsi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, audit forensik
diperlukan untuk pembuktian pada kasus-kasus penipuan. Objek audit forensik
adalah informasi keuangan yang mungkin (diduga) mengandung unsur penyimpangan.
Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan merugikan keuangan perusahaan,
seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil pemeriksaan ini bisa
dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa untuk
memutuskan suatu kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit
juga akan memberikan bukti baru untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana,
seperti penipuan. Dalam kasus semacam ini, auditor dituntut harus benar-benar
independen. Meskipun penugasan audit diberikan oleh salah satu pihak yang
bersengketa, independensi auditor harus tetap dijaga. Auditor tidak boleh
memihak pada siapa-siapa. Setiap langkah, kertas kerja, prosedur, dan
pernyataan auditor adalah alat bukti yang menghasilkan konskuensi hukum pada
pihak yang bersengketa.
IV. Tujuan Audit Forensik
Tujuan dari audit forensik adalah
mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan (fraud). Penggunaan auditor
untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh pesat. Beberapa contoh di mana
audit forensik bisa dilaksanakan termasuk:
1. Kecurangan
dalam bisnis atau karyawan.
2. Investigasi
kriminal.
3. Perselisihan
pemegang saham dan persekutuan.
4. Kerugian
ekonomi dari suatu bisnis.
5. Perselisihan
pernikahan.
V. Tugas Auditor Forensik
Auditor forensik bertugas memberikan
pendapat hukum dalam pengadilan (litigation). Disamping tugas auditor forensik
untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation), ada juga peran
auditor forensik dalam bidang hukum di luar pengadilan (non litigation),
misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak
pemutusan / pelanggaran kontrak. Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian:
jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation
services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor
penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi,
mencegah dan mengendalikan penipuan. Jenis layanan kedua merepresentasikan
kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang
ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus
perceraian. Tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang
pentingnya prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan
akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
VI. Alasan Diperlukannya
Audit Forensik
Mencoba menguak adanya tindak pidana
korupsi dengan audit biasa (general audit atau opinion audit) sama halnya
mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat yang lebih dalam dan
handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan
lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu metodologi
audit yang handal adalah dengan metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi
forensik ataupun Audit Forensik. Audit forensik dahulu digunakan untuk
keperluan pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari
penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah yang dipakai adalah
akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat ini pun
kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik
dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara
sederhana akuntansi forensik menangani fraud khususnya dalam pengertian
corruption dan missappropriation of asset. Profesi ini sebenarnya telah disebut
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 ayat (1)
menyatakan: ”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan”’. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut dalam peraturan
diatas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik, namun ”ahli lainnya”
yang dalam ini termasuk juga akuntan belum banyak dikenal sebutannya sebagai
akuntan forensik.
VII. Perbandingan antara Audit
Forensik dengan Audit Tradisional (Keuangan)
Audit Tradisional
|
Audit Forensik
|
|
Waktu
|
Berulang
|
Tidak berulang
|
Lingkup
|
Laporan Keuangan secara umum
|
Spesifik
|
Hasil
|
Opini
|
Membuktikan fraud (kecurangan)
|
Hubungan
|
Non-Adversarial
|
Adversarial (Perseteruan hukum)
|
Metodologi
|
Teknik Audit
|
Eksaminasi
|
Standar
|
Standar Audit
|
Standar Audit dan Hukum Positif
|
Praduga
|
Professional Scepticism
|
Bukti awal
|
Perbedaan yang paling teknis antara
Audit Forensik dan Audit Tradisional adalah pada masalah metodologi. Dalam
Audit Tradisional, mungkin dikenal ada beberapa teknik audit yang digunakan.
Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis, analisa dokumen,
observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam Audit
Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks.
Teknik-teknik yang digunakan dalam audit
forensik sudah menjurus secara spesifik untuk menemukan adanya fraud.
Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi fraud secara lebih
mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh
karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip teknik yang digunakan
detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-teknik yang digunakan
antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak uang / aset,
deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi
(surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar