Alasan Depresiasi Rupiah dari Internal dan Eksternal
Banyak faktor
tentu menjadi alasan depresiasi rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa waktu
terakhir ini. Paling tidak, ada faktor penguatan ekonomi Amerika Serikat
sebagai penyebab eksternal dan diikuti serangkaian faktor internal. Namun,
perlu dicatat bahwa 1) daya tarik Indonesia sebagai tempat berinvestasi dan 2)
melempemnya ekspor dibanding impor membuat neraca perdagangan defisit.
Ekonomi
Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda makin pulih setelah data pertumbuhan
ekonomi AS periode Jan-Jun 2013 berada pada level 1.4%, dan diprediksi angka
tersebut bisa menembus hingga 2.5% di semester kedua 2013. Sebuah angka yang
cukup tinggi mengingat kue raksasa ekonomi Amerika. Daya tarik kebangkitan
ekonomi ini bisa jadi membawa modal asing yang selama ini ada di Indonesia
“pulang kampung” lagi ke Amerika. Dengan kepastian ekonomi, hukum, dan
stabilitas politik di Amerika Serikat, tentu saja lebih membuat menjalankan
bisnis di Amerika lebih sexy dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia
ketidakpastian iklim investasi (seperti upah buruh, cost pressure dari bahan
bakar minyak, demonstrasi) dan gejolak politik yang sedang dan akan datang
(pemilu 2014) akan membuat investor luar negeri berpikir dua kali.
Defisit
neraca perdagangan juga membuat runyam. Psst, di tengah gembar gembor
keberhasilan ekonomi pemerintah, kita mesti sadar bahwa kita neraca perdagangan
kita sebenarnya jebol alias defisit semenjak tahun lalu. Berikut data ekspor
impor di mana ternyata laju impor tidak lagi bisa tercover oleh ekspor sehingga
keseimbangan negatif terjadi. Apa hubungannya dengan rupiah tertekan? Dengan
defisit neraca perdagangan, berarti kira-kira kita tidak “menerima” pemasukkan
lebih berupa mata uang asing (baca: dollar) atau sering disebut sebagai devisa
negara. Kurangnya devisa / jumlah mata uang asing di suatu negara akan membuat
kondisi, sederhananya, lebih banyak rupiah dibandingkan mata uang asing.
Kembali lagi ke hukum supply-demand, jumlah perputaran rupiah yang banyak akan
membuat dia tertekan. Dari sisi yang lain, ketika cadangan devisa tidak lagi
banyak, BI juga mengalami “kekurangan” energi untuk intervensi menjaga
stabilitas rupiah. Itulah alasan depresiasi rupiah yang lain.
Defisit
Neraca jadi Salah Satu Alasan Depresiasi Rupiah, Neraca Harus Kembali Surplus
Pemerintah
bisa dibilang gagal sebenarnya secara ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selama ini
yang diagung-agungkan hanyalah bentuk kamuflase makroekonomi yang lebih
bersifat autopilot mengingat perekonomian kita yang besar ditunjang oleh
sumberdaya manusia dan alam yang besar yang terlalu sulit untuk “jatuh” di saat
kita tidak sedang terbang. Namun menilik lebih dalam ke arah mikro, sebenarnya
banyak bolongnya, salah satunya defisit neraca perdagangan tadi.
Pemerintah
harus segera mengkoreksi defisit neraca perdagangan yang ada untuk stabilitas
perekonomian. Tercatat paling tidak ada 3 alasan neraca perdagangan kita yang
negatif.
Kesalahan
yang pertama adalah pemerintah tidak mendifersivikasi komoditas ekspor dan
negara tujuan ekspor. Selama ini barang primer menjadi komoditas utama
ekspor Indonesia, namun saat ini harga komoditas tambang, energi yang menjadi
andalan Indonesia cenderung mengalami penurunan. Ditambah lagi perekonomian
dunia yang masih dalam kondisi krisis, membuat kinerja ekspor Indonesia semakin
terpuruk. Kedua adalah pemerintah tidak mengontrol impor bahan baku penolong
yang mencapai 70% dari total impor. Impor bahan baku akan diolah oleh industri
dan selanjutnya akan diekspor, seharusnya barang yang menjadi komoditas ekspor
memiliki muatan lokal yang lebih banyak. Kesalahan ketiga adalah, pemerintah
gagal mengendalikan subsidi BBM. Subsidi membuat harga bahan bakar di Indonesia
menjadi sangat murah, sehingga membuat konsumsi masyarakat selalu melebihi
kuota yang telah ditentukan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar
masyarakat jalan terakhir hanyalah impor, akibatnya defisit neraca perdagangan
migas semakin membesar.
Kesalahan yang
terakhir bagaimanapun sudah dikoreksi melalui pengurangan bbm bersubsidi di
akhir Juni lalu. Ini sudah lama dikritik di nasionalis.me.
Setelah Tahu Alasan
Depresiasi Rupiah, Next, Apa Imbasnya?
Pertama,
karena ia akan melahirkan inflasi sebab kita membutuhkan rupiah yang lebih
banyak untuk harga dollar yang sama suatu barang dan jasa di pasar
internasional. Jika yang dibeli barang modal, ia menimbulkan inflasi
karena menaikkan biaya produksi (cost-pushed inflation). Jangan lupa bahwa
total impor bahan baku 77 persen dari seluruh impor Indonesia. Kalau yang
dibeli barang konsumsi, jelas barang yang harganya naik akan menimbulkan
inflasi langsung. Ujung yang paling berat adalah kalau dilihat secara mikro,
perusahaan-perusahaan yang mengimpor bahan baku tidak lagi mampu menutup
pembelian bahan baku tersebut dengan penjualannya (yang tentu penjualannya
menjadi kurang kompetitif karena makin mahal seiring biaya bahan baku).
Perusahaan bisa bangkrut yang berimplikasi pada macetnya ekonomi dan
pengangguran.
Depresiasi
rupiah yang menciptakan jurus combo dengan inflasi pun akan semakin menggerus
rupiah yang kita dapatkan dari gaji dan penghasilan. Sementara gaji /
penghasilan tidak naik, sebenarnya secara riil kita akan makin miskin.
Apakah tidak ada
positif dari depresiasi rupiah?
Berdasarkan
salah satu tulisan di Tempo, secara teori, depresiasi ini akan menguntungkan.
Hal ini karena harga-harga komoditas domestik relatif lebih murah dari
harga-harga di pasar internasional yang dampaknya akan memacu kenaikan ekspor
dan selanjutnya memperbaiki neraca pembayaran dan menguatkan kembali rupiah.
Dengan naiknya ekspor, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dan selanjutnya
bisa mengurangi angka pengangguran. Namun patut diingat itu jarang
terjadi dalam waktu singkat. Terlebih ekspor kita sendiri lebih bersifat ekspor
yang berbahan baku impor, kalaupun barang ekspor menjadi relatif lebih rendah
harganya, itu tidak akan terlalu banyak.
SBY:
Banyak yang Lebih Susah, Menkeu: Memangnya Kenapa?
Yang
sedih adalah melihat reaksi pemerintah yang “seakan” membiarkan ini terjadi.
Ini bagaimanapun akan membuat pengusaha dan masyarakat panik. Apalagi SBY
sendiri bermain main dengan kalimat ‘denial’, bilang kondisi kita tidak seburuk
negara-negara lain. Kata siapa? Sebenarnya kalau mau jujur, dibandingkan
depresiasi beberapa negara yang disebutkan presiden, kondisi kita tidak lebih
baik. Apalagi mengingat inflasi kita yang sudah besar setelah harga bbm naik
seharusnya pemerintah lebih sigap dan bukan hanya bilang “memangnya kenapa?”.
Berikut trend perbandingan kurs negara lain (yang disebutkan SBY sebagai
argumennya) terhadap dollar:
sumber : http://nasionalis.me/2013/08/alasan-depresiasi-rupiah-defisit-neraca-perdagangan-penguatan-ekonomi-as/