NAMA : RACHMA. ANNASTARI
NPM : 25211695
KELAS: 2EB10
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
HUKUM PERJANJIAN
Pengertian Perjanjian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan
terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst
tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan
dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
A.Standar Kontrak
manusia
cenderung membuat perjanjian (kontrak) yang sesuai dengan kehendaknya, dengan
berbagai argumentasinya kebebasan berkontrak dianggap sebagai hal yang baik,
lebih efesien bahkan memberikan manfaat bagi pihak- pihak tertentu. kebebasan
berkontrak mendorong lembaga tertentu dalam membuat perjanjian telah dibuat
sesuai dengan standar maka dikenalah dengan istilah standar kontrak.
standar
kontrak dapat kita lihat dalam bentuk fomulir yang telah tersedia di perusahaan
perbankan, perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, dan sebagainya. standar
kontrak memberi manfaat kepada kreditur meskipun tidak selalu memberi manfaat
bagi debitur. penyebabnya adalah pihak debitur dalam posisi yang lemah, berhdapan
dengan kreditur sebagai pihak yang dominan (kuat) sehingga perjanjian yang
dibuat seakan tidak seimbang, sehingga hak- hak debitur sering terabaikan.
Perjanjian
yang dibuat dengan model standar kontrak sering muncul masalah di kemudian hari
sehingga menambah rumitnya permasalahan hukum di tanah air. hal ini dapat kita
lihat dalam kasus kredit macet. meskipun debitur dan kreditur telah
menandatangani perjanjian hak tanggungan, hak tanggungannya telah diikat dengan
sertifikat hak tanggungan, jaminan telah diserahkan kepada kreditur tetapi
debitur masih berjuang untuk mengajukan gugatan atau perlawanan ke pengadilan
negeri atas kasusu pelelangan yang dilakukan oleh pengadilan negeri. yang lebih
menarik lagi pengadilan negeri melakukan pemeriksaan atas perlawanan tersebut
dan mengabulkan perlawanan dari debitur sehingga pengadilan negeri yang akn
mengabulkan perlawanan dari debitur sehingga pengadilan negeri yang akan
melaksanakan eksekusi menjadi ragu untuk melakukan eksekusi. hal demikianlah
merupakan indikasi bahwa perjanjian yang di buat dengan model standar kontrak
dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
demikian
pula dalam perjanjian (kontrak) asuransi, bahasa yang digunakan dalam fomulir
perjanjian yang nantinya masuk dalam polis asuransi tidak selalu dapat
dimengerti oleh tertanggung. bahkan penyebutan angka-angka, hak- hak dari
tanggungan tidak secara jelas dapat dibaca bahkan diartikan dengan benar.
sering muncul kewajiban dari tanggungan untuk membayar premi perbulannya,
resiko apabila terlambat membayar premi dan hal lain yang menyebabkan posisi
hukum antara penanggungan dan tertanggung tidak sama. Kata- kata manis dan
menarik dari petugas asuransi atau petugas pemasaran dari produk tertentu tidak
selalu selaras dengan apa yang dimuat dalam kontrak.
Menurut Mariam
Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1. Kontrak standar umum artinya
kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya
kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk
para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis
kontrak standar
Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan
isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal,
dapat dibedakan menjadi:
a. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b. kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c. kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya
dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a. kontrak standar menyatu;
b. kontrak standar terpisah.
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian
dapat dibedakan, antara:
a. kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani
b. kontrak standart yang tidak perlu ditanda tangani saat
kontrak
B. Jenis-jenis
Perjanjian
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III
KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering
disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti
bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan
peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan
para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur
dalam bentuk perjanjian itu:
1.
Perjanjian
bernama
yaitu merupakan
perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam
perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2.
Perjanjian-perjanjian
yang tidak teratur dalam KUH Perdata.
Jadi
dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai
undang-undang bagi masing-masing pihak.
Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara.
Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Perjanjian
timbal balik.
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2.
Perjanjian
cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian
dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya: hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari
pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3.
Perjanjian
khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian
khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa
perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V
s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu
perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat
di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian
ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian
atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh
dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4.
Perjanjian
kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian
kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas
sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian
dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak
lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5.
Perjanjian
konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian
konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6.
Perjanjian-Perjanjian
yang istimewa sifatnya.
a. perjanjian
liberatoir
yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal
1438 KUH Perdata;
b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst)
yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c.
perjanjian
untung-untungan
misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
d. Perjanjian publik
yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian
ikatan dinas.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu
perjanjian itu sah harus terpenuhi 4
syarat, yaitu:
Syarat Subyektif :
- Sepakat untuk mengikatkan dirinya;
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Syarat Obyektif :
- Mengenai suatu hal
tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata
menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap
membuat perjanjian:
1)
Orang
yang belum dewasa
2) Mereka yang
berada di bawah pengampuan/perwakilan
3) Orang yang hilang ingatan
4) Orang
perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
D. Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
1.
Azas Konsensualitas
Yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak
detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak
menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2.
Azas Kebebasan Berkontrak/Terbuka
Yaitu bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini
tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
3. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada
perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada
Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untu dirinya.
Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlak antara
pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau
manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.
Oleh
karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak
dapat
mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
4.
Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat"berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak
mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul
larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk
mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.
Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat
para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan
bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian
yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini
disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya
dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam
perjanjian itu seimbang;
2) Para pihak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum.
5.
Asas itikad baik
Asas
itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian
subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338
ayat (3) (pengertian obyektif).
E. Saat lahirnya perjanjian
Menurut azas konsensualitas,
suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan
antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi
obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara
dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang
dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara
bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.
F. Pelaksanaan dan Hapusnya Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Yang dimaksud dengan
pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang
yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat
terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran
lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang
dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur
yang menjadi pihak dalam perjanjian
2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4) Media pembayaran yang digunakan
5) Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah
penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain,
sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat-
syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang
sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
A.Pembayaran Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan
menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam
pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena
pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah
suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur)
menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran,
debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran
pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda
pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah
suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan
utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau
obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah
suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara
debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan
lainnya.
Menurut
pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak
membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah
terjadi, kecuali:
(i)
Apabila penghapusan/pelunasan itu
dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)
(ii)
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan
atau dipinjamkan.
(iii)
(iii) Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah
jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut
Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
(i)
Secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)
Secara pembelaan maksudnya adalah
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru
mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i. Berlakunya
suatu syarat batal
Menurut
pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam
pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut,
maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar