Minggu, 29 Desember 2013

Alasan Depresiasi Rupiah: Defisit Neraca Perdagangan & Penguatan Ekonomi


Alasan Depresiasi Rupiah dari Internal dan Eksternal
Banyak faktor tentu menjadi alasan depresiasi rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa waktu terakhir ini. Paling tidak, ada faktor penguatan ekonomi Amerika Serikat sebagai penyebab eksternal dan diikuti serangkaian faktor internal. Namun, perlu dicatat bahwa 1) daya tarik Indonesia sebagai tempat berinvestasi dan 2) melempemnya ekspor dibanding impor membuat neraca perdagangan defisit.
Ekonomi Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda makin pulih setelah data pertumbuhan ekonomi AS periode Jan-Jun 2013 berada pada level 1.4%, dan diprediksi angka tersebut bisa menembus hingga 2.5% di semester kedua 2013. Sebuah angka yang cukup tinggi mengingat kue raksasa ekonomi Amerika. Daya tarik kebangkitan ekonomi ini bisa jadi membawa modal asing yang selama ini ada di Indonesia “pulang kampung” lagi ke Amerika. Dengan kepastian ekonomi, hukum, dan stabilitas politik di Amerika Serikat, tentu saja lebih membuat menjalankan bisnis di Amerika lebih sexy dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia ketidakpastian iklim investasi (seperti upah buruh, cost pressure dari bahan bakar minyak, demonstrasi) dan gejolak politik yang sedang dan akan datang (pemilu 2014) akan membuat investor luar negeri berpikir dua kali.
Defisit neraca perdagangan juga membuat runyam. Psst, di tengah gembar gembor keberhasilan ekonomi pemerintah, kita mesti sadar bahwa kita neraca perdagangan kita sebenarnya jebol alias defisit semenjak tahun lalu. Berikut data ekspor impor di mana ternyata laju impor tidak lagi bisa tercover oleh ekspor sehingga keseimbangan negatif terjadi. Apa hubungannya dengan rupiah tertekan? Dengan defisit neraca perdagangan, berarti kira-kira kita tidak “menerima” pemasukkan lebih berupa mata uang asing (baca: dollar) atau sering disebut sebagai devisa negara. Kurangnya devisa / jumlah mata uang asing di suatu negara akan membuat kondisi, sederhananya, lebih banyak rupiah dibandingkan mata uang asing. Kembali lagi ke hukum supply-demand, jumlah perputaran rupiah yang banyak akan membuat dia tertekan. Dari sisi yang lain, ketika cadangan devisa tidak lagi banyak, BI juga mengalami “kekurangan” energi untuk intervensi menjaga stabilitas rupiah. Itulah alasan depresiasi rupiah yang lain.

Defisit Neraca jadi Salah Satu Alasan Depresiasi Rupiah, Neraca Harus Kembali Surplus
Pemerintah bisa dibilang gagal sebenarnya secara ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selama ini yang diagung-agungkan hanyalah bentuk kamuflase makroekonomi yang lebih bersifat autopilot mengingat perekonomian kita yang besar ditunjang oleh sumberdaya manusia dan alam yang besar yang terlalu sulit untuk “jatuh” di saat kita tidak sedang terbang. Namun menilik lebih dalam ke arah mikro, sebenarnya banyak bolongnya, salah satunya defisit neraca perdagangan tadi.
Pemerintah harus segera mengkoreksi defisit neraca perdagangan yang ada untuk stabilitas perekonomian. Tercatat paling tidak ada 3 alasan neraca perdagangan kita yang negatif.
Kesalahan yang pertama adalah pemerintah tidak mendifersivikasi komoditas ekspor dan negara tujuan ekspor. Selama ini barang primer menjadi komoditas utama ekspor Indonesia, namun saat ini harga komoditas tambang, energi yang menjadi andalan Indonesia cenderung mengalami penurunan. Ditambah lagi perekonomian dunia yang masih dalam kondisi krisis, membuat kinerja ekspor Indonesia semakin terpuruk. Kedua adalah pemerintah tidak mengontrol impor bahan baku penolong yang mencapai 70% dari total impor. Impor bahan baku akan diolah oleh industri dan selanjutnya akan diekspor, seharusnya barang yang menjadi komoditas ekspor memiliki muatan lokal yang lebih banyak. Kesalahan ketiga adalah, pemerintah gagal mengendalikan subsidi BBM. Subsidi membuat harga bahan bakar di Indonesia menjadi sangat murah, sehingga membuat konsumsi masyarakat selalu melebihi kuota yang telah ditentukan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar masyarakat jalan terakhir hanyalah impor, akibatnya defisit neraca perdagangan migas semakin membesar.
Kesalahan yang terakhir bagaimanapun sudah dikoreksi melalui pengurangan bbm bersubsidi di akhir Juni lalu. Ini sudah lama dikritik di nasionalis.me.

Setelah Tahu Alasan Depresiasi Rupiah, Next, Apa Imbasnya?

Pertama, karena ia akan melahirkan inflasi sebab kita membutuhkan rupiah yang lebih banyak untuk harga dollar yang sama suatu barang dan jasa di pasar internasional. Jika yang dibeli barang modal, ia menimbulkan inflasi karena menaikkan biaya produksi (cost-pushed inflation). Jangan lupa bahwa total impor bahan baku 77 persen dari seluruh impor Indonesia. Kalau yang dibeli barang konsumsi, jelas barang yang harganya naik akan menimbulkan inflasi langsung. Ujung yang paling berat adalah kalau dilihat secara mikro, perusahaan-perusahaan yang mengimpor bahan baku tidak lagi mampu menutup pembelian bahan baku tersebut dengan penjualannya (yang tentu penjualannya menjadi kurang kompetitif karena makin mahal seiring biaya bahan baku). Perusahaan bisa bangkrut yang berimplikasi pada macetnya ekonomi dan pengangguran.
Depresiasi rupiah yang menciptakan jurus combo dengan inflasi pun akan semakin menggerus rupiah yang kita dapatkan dari gaji dan penghasilan. Sementara gaji / penghasilan tidak naik, sebenarnya secara riil kita akan makin miskin.
Apakah tidak ada positif dari depresiasi rupiah?
Berdasarkan salah satu tulisan di Tempo, secara teori, depresiasi ini akan menguntungkan. Hal ini karena harga-harga komoditas domestik relatif lebih murah dari harga-harga di pasar internasional yang dampaknya akan memacu kenaikan ekspor dan selanjutnya memperbaiki neraca pembayaran dan menguatkan kembali rupiah. Dengan naiknya ekspor, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dan selanjutnya bisa mengurangi angka pengangguran. Namun patut diingat  itu jarang terjadi dalam waktu singkat. Terlebih ekspor kita sendiri lebih bersifat ekspor yang berbahan baku impor, kalaupun barang ekspor menjadi relatif lebih rendah harganya, itu tidak akan terlalu banyak.

SBY: Banyak yang Lebih Susah, Menkeu: Memangnya Kenapa?


Yang sedih adalah melihat reaksi pemerintah yang “seakan” membiarkan ini terjadi. Ini bagaimanapun akan membuat pengusaha dan masyarakat panik. Apalagi SBY sendiri bermain main dengan kalimat ‘denial’, bilang kondisi kita tidak seburuk negara-negara lain. Kata siapa? Sebenarnya kalau mau jujur, dibandingkan depresiasi beberapa negara yang disebutkan presiden, kondisi kita tidak lebih baik. Apalagi mengingat inflasi kita yang sudah besar setelah harga bbm naik seharusnya pemerintah lebih sigap dan bukan hanya bilang “memangnya kenapa?”. Berikut trend perbandingan kurs negara lain (yang disebutkan SBY sebagai argumennya) terhadap dollar:
sumber : http://nasionalis.me/2013/08/alasan-depresiasi-rupiah-defisit-neraca-perdagangan-penguatan-ekonomi-as/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar